Dukacita Maria
Dukacita Pertama: Nubuat Nabi Simeon
Dalam lembah airmata ini, setiap manusia dilahirkan untuk menangis, dan semua harus menderita, dengan menanggung kemalangan-kemalangan yang adalah peristiwa sehari-hari. Tetapi, alangkah jauh lebih hebatnya penderitaan hidup ini, andai saja kita mengetahui terlebih dahulu kemalangan-kemalangan yang menanti kita! “Betapa malangnya, sungguh, betapa berat penderitaan dia,” kata Seneca, “yang mengetahui kemalangan yang akan datang, sebab ia harus menderita semuanya sementara menanti.” Kristus menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita dalam hal ini. Ia menyembunyikan pencobaan-pencobaan yang menanti kita, sehingga, apa pun pencobaan itu, kita akan menanggungnya sekali saja.
Namun demikian, Kristus tidak menunjukkan belas kasihan yang sama terhadap Bunda Maria; sebab dialah yang dikehendaki Tuhan menjadi Ratu Dukacita, dan seperti Putranya, dalam segala hal ia senantiasa telah melihat terlebih dahulu di depan matanya dan dengan demikian terus-menerus menanggung segala sengsara dan penderitaan yang menantinya; penderitaan-pernderitaan itu adalah Sengsara dan Wafat Yesusnya yang terkasih; seperti di Bait Allah Nabi Simeon, sementara menatang Kanak-kanak Yesus dalam tangannya, menubuatkan kepada Maria bahwa Putranya akan menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan. “Sesungguhnya Anak ini ditentukan… untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Dan karenanya, sebilah pedang dukacita akan menembus jiwanya, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.”
Dukacita Kedua: Melarikan Yesus ke Mesir
“Rambut di kepalamu, berwarna ungu raja, rapi terjalin,” mengatakan bahwa helai-helai rambut berwarna ungu ini adalah kenangan Bunda Maria yang terus-menerus akan sengsara Yesus, di mana darah yang suatu hari nanti memancar dari luka-luka-Nya senantiasa ada di depan matanya, “Dalam benakmu, ya Maria, dan dalam segala pemikiranmu, bayang-bayang darah sengsara Kristus senantiasa meliputimu dengan dukacita, seolah-olah engkau sungguh melihat darah memancar dari luka-luka-Nya.” Dengan demikian, Putranya sendiri merupakan anak panah di hati Maria; semakin menawan Ia di hatinya, semakin amat dalamlah bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang keji menyengsarakan hatinya.
Sekarang marilah kita merenungkan pedang dukacita kedua yang melukai Maria dalam melarikan Bayi Yesus dari aniaya Herodes ke Mesir. Herodes, mendengar bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, dalam kebodohannya, ketakutan kalau-kalau Ia akan menggulingkannya dari kerajaan. St. Fulgentius, mencela kebodohan Herodes dengan mengatakan, “Mengapakah engkau gelisah, hai Herodes? Raja yang baru dilahirkan ini datang tidak untuk menaklukan raja-raja dengan pedang, melainkan menaklukkan mereka secara mengagumkan dengan wafat-Nya.” Herodes yang kafir, menanti kabar dari para Majus di mana sang Raja dilahirkan agar ia dapat segera mencabut nyawa-Nya. Sadar bahwa ia ditipu, Herodes memerintahkan agar semua bayi yang didapati di wilayah Betlehem dan sekitarnya dibunuh. Sementara itu, malaikat menampakkan diri dalam mimpi kepada St Yusuf, “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir.” Menurut Gerson, St Yusuf segera, pada malam itu juga, menyampaikan perintah ini kepada Maria; dengan membawa Bayi Yesus, mereka memulai perjalanan mereka, seperti dengan jelas dicatat dalam Kitab Suci, “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir.”
Dukacita Ketiga: Hilangnya Yesus di Bait Allah
Rasul St Yakobus mengatakan bahwa kesempurnaan dapat dicapai dengan ketekunan. “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” Kristus memberikan Santa Perawan Maria kepada kita sebagai teladan kesempurnaan, oleh sebab itu perlulah ia ditempa derita agar dalam dia kita dapat mengagumi ketekunannya yang gagah berani dan berusaha meneladaninya. Dukacita yang kita renungkan sekarang ini adalah penderitaan terdahsyat yang harus dialami Bunda Maria dalam hidupnya, kehilangan Putranya di Bait Allah.
Dukacita Keempat: Perjumpaan Bunda Maria dengan Yesus saat Ia Menjalani Hukuman Mati
Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa ketika saat sengsara Kristus semakin dekat, matanya senantiasa bersimbah airmata, sementara pikirannya tak lepas dari Putranya terkasih, yang akan terpisah darinya di dunia ini, dan bayangan akan sengsara yang segera tiba menyebabkannya diliputi ketakutan, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lihat, waktu yang ditetapkan sejak lama telah tiba, dan Yesus, dengan meneteskan airmata, mohon pamit dari Bunda-Nya sebelum Ia menyongsong maut. St Bonaventura, merenungkan Bunda Maria pada malam itu, mengatakan, “Engkau melewatkan malam-malam tanpa terlelap, dan sementara yang lain tertidur pulas, engkau tetap terjaga.” Pagi harinya, para murid Yesus Kristus datang kepada Bunda yang berduka, seorang memberitakan kabar, yang lain membawa kabar yang lain pula; namun semuanya kabar dukacita, membuktikan digenapinya nubuat Yeremia atasnya, “Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis, airmatanya bercucuran di pipi; dari semua kekasihnya, tak ada seorang pun yang menghibur dia.” Sebagian menceritakan kepadanya perlakuan keji terhadap Putranya di rumah Kayafas; yang lain, penghinaan yang Ia terima dari Herodes. Pada akhirnya - aku menghilangkan yang lainnya - St Yohanes datang dan mengabarkan kepada Bunda Maria bahwa Pilatus yang sangat tidak adil telah menjatuhkan hukuman mati disalib atas-Nya. Aku katakan Pilatus yang sangat tidak adil; sebab seperti perkataan St Leo, “Hakim yang tidak adil ini menjatuhkan hukuman mati atas-Nya dengan bibir yang sama yang memaklumkan bahwa Ia tidak bersalah.” “Ah, Bunda yang berduka,” kata St Yohanes, “Putramu telah dijatuhi hukuman mati, Ia telah pergi, memanggul salib-Nya sendiri ke Kalvari,” seperti yang kemudian dikisahkan orang kudus ini dalam Injilnya, “Sambil memikul salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.” “Marilah, jika engkau berharap berjumpa dengan-Nya di tengah jalan yang akan dilewati-Nya, dan menyampaikan selamat tinggal.”
Dukacita Kelima: Yesus Wafat
Sekarang kita merenungkan kemartiran Bunda Maria yang lain - seorang ibunda yang diharuskan melihat Putranya yang tak berdosa, dan yang ia cintai dengan segenap kasih sayang jiwanya, disiksa dengan keji dan dijatuhi hukuman mati di depan matanya, “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya.” St Yohanes yakin bahwa dengan kata-kata tersebut ia telah cukup mengungkapkan kemartiran Maria. Marilah merenungkan Bunda Maria yang berada di kaki salib, menemani Putranya yang meregang nyawa, dan lihatlah, adakah dukacita seperti dukacitanya. Marilah pada hari ini kita tinggal sejenak di Kalvari dan merenungkan pedang dukacita kelima, yang saat wafat Yesus, menembus hati Maria.
Dukacita Keenam: Lambung Yesus Ditikam dan Jenazah-Nya Diturunkan dari Salib
“Acuh tak acuhkan kamu sekalian yang berlalu? Pandanglah dan lihatlah, apakah ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan Tuhan kepadaku?” Jiwa-jiwa saleh, dengarkanlah apa yang dikatakan Bunda yang berduka hari ini, “Anak-anakku terkasih, aku tidak berharap kalian menghiburku; tidak, sebab jiwaku tak lagi mudah tersentuh oleh penghiburan di dunia ini setelah wafat Putraku Yesus yang terkasih. Jika engkau hendak menyenangkan hatiku, inilah yang aku minta dari kalian; pandanglah aku dan lihatlah adakah kesedihan di dunia ini yang seperti kesedihanku, menyaksikan Dia yang adalah jantung hatiku direnggut dariku dengan keji.” Tetapi, Bunda yang berkuasa, oleh sebab engkau tidak hendak dihibur dan engkau memiliki kerinduan yang begitu besar untuk menderita, harus kukatakan kepadamu, bahwa bahkan dengan wafatnya Putramu, dukacitamu belumlah berakhir. Pada hari ini engkau akan ditembusi oleh pedang dukacita yang lain, sebilah tombak dengan keji akan ditikamkan pada lambung Putramu yang telah wafat, dan engkau akan menerima-Nya dalam pelukanmu setelah jenazah-Nya diturunkan dari salib. Sekarang kita akan merenungkan dukacita keenam yang mendukakan Bunda yang malang ini. Merenunglah dan menangislah. Sampai sekarang dukacita Maria menderanya satu demi satu; pada hari ini seluruh dukacita itu bergabung menjadi satu untuk menyerangnya.
Dukacita Ketujuh: Yesus Dimakamkan
Ketika seorang ibu berada di samping anaknya yang sedang menderita dan mengalami sakrat maut, tak diragukan lagi ia merasakan dan menanggung segala penderitaan anaknya; tetapi setelah anaknya itu meninggal dunia, sebelum jenazahnya dihantar ke makam, pastilah ibunda yang berduka itu mengucapkan selamat berpisah kepada anaknya; dan kemudian, sungguh, pikiran bahwa ia tak akan pernah melihat anaknya itu lagi merupakan suatu dukacita yang melampaui segala dukacita. Lihatlah pedang dukacita Maria yang terakhir, yang sekarang kita renungkan; setelah menyaksikan wafat Putranya di salib dan memeluk tubuh-Nya yang tak bernyawa untuk terakhir kalinya, Bunda yang terberkati ini harus meninggalkan-Nya di makam, tak akan lagi pernah menikmati kehadiran Putranya yang terkasih di dunia ini.
(Sumber: yesaya.indocell.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar